"TULISAN INI BERHASIL MENDAPATKAN PREDIKAT JUARA FAVORIT KOMPASIANA BLOG COMPETITION WITH BANK INDONESIA - MENJAGA STABILITAS SISTEM KEUANGAN 2019"
Krisis keuangan yang
menghempas Indonesia pada tahun 1997 hingga tahun 1998 adalah sebuah sejarah
pahit yang memilukan. Pengalaman pahit itu kembali terulang secara tiba-tiba di
tahun 2008, sebagai krisis yang paling mengejutkan kita dan otoritas dunia.
Sebab krisis 2008 terjadi di tengah situasi keuangan kondusif, makroekonomi
yang baik, serta kesehatan individual perbankan yang mencukupi.
Saat itu benar-benar
seperti tidak ada angin, tak ada hujan. Yang terlihat hanya panas cerah
matahari menghangatkan. Namun ternyata gerimis hingga hujan yang tiba-tiba
secara tak sadar membasahi badan. Ya… seperti si doi yang kemarin masih
perhatian, tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
Yang pasti, kedua sejarah
tersebut mengajarkan kita bahwa krisis bisa terjadi kapan saja, bersumber dari
mana saja, menelan biaya besar, serta memerlukan waktu pemulihan yang sangat
lama.
Tapi yang menjadi
pertanyaan, sebenarnya apa yang terjadi di balik krisis tersebut?
Ternyata krisis keuangan
antara lain disebabkan oleh risiko sistemik.
Lalu apa dan bagaimana
risiko sistemik tersebut?
Jawabannya dianalogikan
dalam cerita berikut:
Di suatu pagi yang cerah
dengan kondisi jalan raya ramai lancar tanpa hambatan. Tiba-tiba mendadak semua
berubah, sebuah truk terguling dan menutup jalan, kecelakaan beruntun tak
terhindari, sehingga arus lalu lintas seketika terganggu. Kemacetan pun dengan
cepat menular dan merebak ke jalan lain, sehingga membuat para pengemudi pun
panik dan menggerutu.
Sama persis dengan
kejadian macet yang menular, risiko sistemik adalah potensi instabilitas, karena
adanya gangguan yang menular pada sebagian atau seluruh sistem keuangan. Risiko
sistemik terjadi akibat pertemuan shock dan vulnerability.
Shock adalah peristiwa
yang memicu atau membarengi terjadinya krisis. Di dalam cerita tadi Shock-nya
adalah supir yang mengantuk dan kabut yang menghalangi pandangan supir truk. Sedangkan
vulnerability adalah karakteristik sistem keuangan yang dapat mempercepat
penyebaran shock. Yakni kondisi jalan yang berlubang serta rem yang blong atau
kerusakan pada mesin truk. Maka ketika shock dan vurnelability saling bertemu
terjadilah kecelakaan yang akhirnya menyebabkan kemacetan.
Lalu apa yang harus
dilakukan untuk memitigasi risiko sistemik?
Dalam mencegah terjadinya
risiko sistemik, Bank Indonesia telah mengambil langkah preventif dengan melakukan
kebijakan makroprudensial melalui strategi operasional. Yakni Identifikasi
Prioritas Risiko Sistemik melalui Balanced Approach, Assesmen, Perumusan
Kebijakan Makroprudensial. Serta dalam hal risiko sistemik telah
termaterialisasi dan terjadi krisis, Bank Indonesia akan memulai protokol
manajemen krisis berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian
Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Sehingga risiko dapat termitigasi dan
menciptakan sistem stabilitas keuangan Indonesia.
Ternyata semudah itu ya?
Eitss…. Masih belum. Ternyata
semuanya itu belum sepenuhnya cukup.
Sebab potensi
instabilitas masih saja menghantui dan dapat terjadi lagi…..
Memang otoritas keuangan
dunia semakin menyadari pentingnya penerapan kebijakan makroprudensial yang
dapat melengkapi kebijakan lainnya dan mencegah dan mengantisipasi terjadinya
krisis keuangan. Namun upaya-upaya tersebut tidak akan berjalan aktif jika tidak
didukung penuh oleh seluruh stakeholders, yakni pelaku pasar, masyarakat
pengguna sistem keuangan serta para pakar dan akademisi di bidang ekonomi dan
keuangan. Oleh karenanya partisipasi aktif kita sebagai masyarakat juga sangat
diperlukan untuk dapat menghalau krisis keuangan.
Memangnya kita bisa
berperan apa?
Sedikit kembali ke cerita
kemacetan tadi, jika jalan raya terdiri dari ruas-ruas jalan yang dipenuhi
berbagai macam jenis kendaraan, sistem keuangan juga seperti itu. Sistem
keuangan terdiri dari bank, institusi keuangan non bank, perusahaan non
keuangan, serta rumah tangga yang terhubung dengan insfrastruktur keuangan.
Jadi di saat kita
menggunakan kartu kredit, berbelanja, berinvestasi, atau kegiatan keuangan
lainnya, saat itu juga kita menjadi rumah tangga yang terhubung dengan
insfrastruktur keuangan. Artinya secara sadar atau tidak sadar kita sangat
berkaitan langsung dengan stabilitas sistem keuangan. Otomatis di saat kita
lengah saat berkendara, hingga menimbulkan kecelakaan, kita dapat membuat
kemacetan yang berujung pada terjadinya risiko sistemik.
Lalu langkah nyata apa
yang bisa kita lakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan?
Yuk kita lakukan 5 M:
Menggunakan Produk Lokal
Apa sih pengaruh menggunakan
produk dalam negeri dengan stabilitas sistem keuangan?
Jadi, ketika kita banyak
mengonsumsi produk impor, maka hal tersebut dapat memicu terjadinya defisit
transaksi berjalan (current account deficit) yang persisten. Dengan kita
menggunakan produk dalam negeri terutama produk-produk UMKM artinya kita telah
membantu kebijakan Pemerintah untuk memperbaiki kondisi defisit transaksi
berjalan. Sehingga barang-barang yang bersumber dari luar negeri dapat
digantikan dengan barang-barang produksi dalam negeri.
Lalu kenapa harus produk UMKM?
Karena UMKM memiliki
kekuatan dahsyat yang tersembunyi. Di saat krisis 1997 dan 2008 UMKM terbukti
dapat bertahan dan tidak terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal seperti nilai
tukar, kebutuhan negara lain, keadaaan politik negara lain atau oleh perjanjian
dalam forum perdagangan dunia. Sebab itu kita harus membela dan membeli
produk-produk UMKM.
Mengatur Keuangan dan
berbelanja dengan cermat
Mengatur keuangan dengan
baik juga tak kalah penting. Dengan tidak membiarkan, pengeluaran lebih besar
dari pemasukan, serta bijak dalam memanfaatkan produk jasa keuangan dari bank
dan non bank.
Salah satunya menggunakan
list belanja, agar berbelanja yang menjadi prioritas saja. Selain itu, jangan
boros! Pandai-pandailah dalam membedakan keinginan dengan kebutuhan.
Emang keuangan kita bisa
berpengaruh kepada keuangan negara?
Jelas dong! Kondisi
keuangan setiap individu yang sehat akan sangat berkontribusi bagi stabilitas
keuangan negara. Kondisi keuangan yang sehat adalah bentuk wawas diri dari
peluang krisis yang bisa terjadi kapan saja itu. Sehingga, kondisi keuangan
individu yang sehat, akan sangat membantu mempercepat kestabilan saat krisis
melanda.
Dengan langkah kecil ini,
selain berdampak baik bagi diri sendiri secara tidak langsung juga membantu
stabilitas sistem keuangan negara agar tetap terjaga.
Menggunakan dan Membayar Kredit
dengan Bijak
Pun dalam kredit atau
cicilan, jangan sampai rasio cicilan terhadap pendapatan kita pas-pasan. Misalnya,
saat tingkat suku bunga naik kita wajib mempunyai sisa pendapatan yang dimiliki
untuk menghadapi kemungkinan kenaikan biaya cicilan tersebut. Kita harus
memiliki “space” dalam penghasilam untuk kejadian di masa buruk. Sebab
itu kita harus membatasi berapa rasio maksimal cicilan kredit terhadap penghasilan.
Misalnya total cicilan tidak boleh melebihi 30% dari total penghasilan kita
sebulan.
Jangan pernah bergantung
pada kata-kata "rezeki sudah ada yang mengatur", jika kita tidak bisa
mengaturnya. Sebab, bagaimanapun semua catatan cicilan kita tersebut langsung
terintegrasi dengan Bank Sentral. Untuk itu, pastikan perilaku kita terhadap
kredit dan cicilan sehat, sehingga disiplin membayar cicilan dan bijak dalam
menggunakan kartu kredit menjadi sebuah keharusan.
Selain itu kredit yang
akan kita ambil hendaknya benar-benar diperuntukkan sebagai kebutuhan.
Sedangkan kredit untuk barang lainnya semisal gadget, aneka produk elektronik
hendaknya disesuaikan dengan kemampuan keuangan kita. Jangan membiasakan “besar
pasak daripada tiang,” artinya besar pengeluaran lebih tinggi dibandingkan
pemasukan. hingga berdampak buruk pada macetnya pembayaran.
Budaya konsumtif harus
disikapi dengan kontrol diri. Jangan hanya karena gengsi kemudian rela berhutang,
sehingga yang terjadi gali lubang tutup lubang.
Menabung
Menabung sejatinya adalah
bentuk kepercayaan kepada bank. Krisis 1997 semakin parah setelah terjadinya
money rush karena ketidakpercayaan kepada bank. Jangan pernah khawatir untuk
menabung di bank, sebab sudah ada Lembga Penjamin Simpanan yang akan menjamin
tabungan nasabah ketika bank tersebut collapse.
Menabung juga bukan hanya
menaruh uang di bank. Investasi juga merupakan menabung. Namun tetap, kita harus
bijak dan cerdas dalam menentukan jenis investasi yang akan kita tanam. Jangan
mudah terbujuk rayu akan jenis investasi yang menawarkan bunga tinggi di atas
ketentuan yang ditetapkan BI. Jangan hanya tergiur keuntungan tinggi, tapi
kemudan tertipu akhirnya menderita kerugian yang besar.
Melek Informasi dan Wawas
Diri
Di era kemudahan dalam
mengakses informasi, kita wajib hati-hati. Bersikap wawas diri terhadap hal-hal
negatif dan informasi yang belum pasti kebenarannya Sebab hal yang sepele ini juga
akan sangat berkontribusi dalam menjaga stabilitas dan mencegah terjadinya
krisis. Namun, wawas diri bukan berarti menjadi penakut dalam mengambil risiko.
Berpikir, berhitung, dan bertanya atau melakukan riset-riset kecil adalah
aktualisasi pengambilan risiko yang tepat.
Selain itu jangan pernah
mudah untuk terprovokasi. Belum lama ini misalnya, ajakan untuk melakukan Rush
Money. Menarik uang besar-besaran dari bank. Padahal gerakan Rush Money tentu
bisa merusak perekonomian Indonesia. Bahkan bisa sampai membuat ekonomi menjadi
lumpuh.
Dampak paling parah dari rush money adalah terjadinya resesi. Ini lah
yang dikhawatirkan, sebab bisa membuat sengsara sebagaimana krisis 1998.
Sehingga
melek informasi menjadi sangat diharuskan.
Kita juga wajib update
informasi dari BI maupun pemerintah. Misalnya tentang kenaikan suku bunga
kedepan. Dengan begitu kita akan mengetahui dan mempertimbangkan keputusan
mengambil kredit serta kemampuan membayar cicilan hutang di masa mendatang.
Selain itu, kita juga harus memiliki informasi kredit yang akan diambil seperti
skema tagihan kartu kredit. Semua itu sangatlah penting, jika tidak, kita bisa
rugi sendiri.
Oh iya, jangan lupa juga
untuk menggunakan Rupiah di setiap transaksi yang kita lakukan. Baik jual beli
maupun menabung di bank. Jangan takut dan malu untuk menukarkan ke Rupiah
ketika kalian mereka memberi kalian uang asing.
***
Dengan melakukan lima hal
sederhana tersebut kita sudah membantu menjaga stabilitas sistem keuangan.
Sehingga Indonesia kita akan menjadi Indonesia yang lebih mandiri yang memiliki
daya tahan terhadap goncangan serta tekanan ketidakpastian ekonomi global.
Berhentilah mengeluh
tentang kenaikan harga. Karena pemerintah menaikkan harga, pastilah ada
sebabnya. Yaitu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Tidak perlu
melemparkan kesalahan ke Pemerintah, karena kita semualah yang bertanggung
jawab atas kelangsungan negara ini kedepannya.
Pada akhirnya, mari kita buang
jauh-jauh ingatan krisis keuangan global di 1998 dan 2008 lalu, saatnya kita
berpartisipasi aktif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Karena sejatinya
stabilnya sistem keuangan adalah dari kita, oleh kita dan untuk kita. 😊
No comments:
Post a Comment