Mahakarya Bulan Agustus dan September

Hitam, Biru, dan Abu-abu

MALIK dan Elsa dari Boy Candra terlalu sederhana, bahkan Roman dan Wulan dari Roman Picisan pun belum seberapa. Ada sebuah cerita yang tidak bisa dimengerti bagaimana kelanjutannya. 

Aku tidak mengetahui, kamu akan memilih warna Hitam, Biru, ataupun Abu-abu. Aku pun tidak bisa untuk menerka-nerka bagaimana akhirnya. Karena ini bukanlah sebuah buku novel yang bisa aku buka di halaman terakhir untuk mengetahui kisah tersebut berakhir bahagia atau kecewa, dengan melewatkan suka duka di halaman-halaman sebelumnya. 

Seperti halnya ketika harus memilih satu dari dua pilihan yang samasama sempurna. Jika hanya memilih satu itu tidak cukup, namun memilih dua itu berlebihan. 

Kamu akan kembali atau tidak sebenarnya bukan urusanku, namun anehnya aku menjadi sangat sedih jika kamu benar-benar tidak kembali. Selama waktu kita tidak bisa berjumpa, aku hanya bisa berteriak semoga kamu baik-baik saja disana. Entah hitam, biru, ataupun abu-abu, kamu tetap yang terpilih sebagai seseorang yang berhak aku rindu. 

Hitam, biru, dan abu-abu. 
Moch. Marsa.
Agustus, 2018.

***

Sebab Rindu Saya


Sebab rindu saya, tak jarang saya membuang waktu saya untuk sekedar menatap cermin, mengajaknya berbicara sembari meminta,

Duhai cermin…

Saya tak berharap agar dirimu merubah wajah saya menjadi tampan. Melainkan tak bisakah dirimu merubah wajah saya menjadi wajahnya. Agar saya dapat menatapnya sembari bercerita perihal rindu saya kepadanya.

Duhai cermin…

Sebab rindu saya, bukanlah sekedar pertemuan yang saya minta. Melainkan sebuah waktu dimana saya dapat tersenyum kepadanya, dan dia membalas senyum tersebut dengan penuh bahagia.
Ketahuilah duhai cermin…
Sebab rindu saya, oleh sebab itu pula saya merindukannya dengan tiada henti-hentinya.

M.S. Marsa, 
Agustus, 2018
Di dalam Hitam, Biru, dan Abu-abu

***

Bukan Hitam, Biru, maupun Abu-abu


INI adalah sebuah surat yang sejatinya ingin aku tujukan kepadamu. Tapi aku menyadari, jangankan membaca, mengendus baunya pun aku yakin kamu tak akan pernah sudi. Tapi tidak mengapa, setidaknya aku masih dapat berimajinasi, membayangkan aku sedang berbicara langsung kepadamu meski harus dalam mimpi.

Kasih…
Masih aku ingat bagaimana rasa bahagia itu menyelimuti raga dan hati, di saat kamu memutuskan untuk pulang kembali ke kota ini. Tapi entah mengapa menjadi tanda tanya besar yang tak sanggup aku jawab hingga kini, di balik kebahagiaan yang menyelimuti, bagaimana bisa ada sebilah pisau yang dapat menggores hati?

Katamu, jika memilih satu itu tidak cukup, dan jika memilih dua itu terlalu berlebihan. Namun ketika semuanya telah aku beri, mengapa justru kamu kembalikan?

Ketika setiap detak jantungku mulai terbiasa mendzikirkan rindu tentangmu, mengapa tiba-tiba dengan sengaja kamu pun menusuk jantung itu?

Kasih… 
Mungkin kamu juga lupa, atau kamu memang tidak sudi untuk mengingatnya. Kamu pernah berjanji untuk menyanyikan sebuah lagu untukku, yang hingga detik ini aku masih menunggu momen itu. Namun justru bukan suara merdu yang aku terima, tetapi makian dan celaan yang kamu senandungkan tepat kepada telinga.

Kasih… 
Aku tidak marah, dan aku pun tidak kecewa. Aku hanya bertanya, mengapa kamu begitu tega? Bukan aku mengharap pamrih, tapi apakah pantas segala kebaikan yang aku berikan kau balas dengan rasa perih?  

Aku tahu kamu sudah tidak ingin lagi menerima telepon dariku, kamu juga sudah memasang sebuah ‘pagar pembatas’ untuk memberitahuku agar jangan pernah lagi mengirim pesan untukmu dengan memblokir akunku.

Aku tahu aku salah, aku pun tahu aku berdosa, tetapi apakah sebanding jika hanya dengan satu kesalahan, dapat mengubur begitu banyak kebaikan yang pernah diberikan?

Kasih…
Hingga tangis ini menjadi embun pagi, aku tetap akan menanti kamu untuk mencabut keputusan ini.
Meski mungkin semua impianku bersamamu bukanlah sesuatu yang takdir setujukan. Namun aku hanya percaya akan satu ketentuan, bahwa yang namanya hati akan selalu berubah-ubah, dengan cepat maupun lambat. 

Dan ketahuilah, ketentuan ini bukan hanya berlaku untukmu, tapi sewaktu-waktu bisa saja terjadi padaku. 

Moch. Marsa,
September, 2018
Di dalam Hitam, Putih, dan Abu-abu
[Untuk sebuah kisah yang pernah terjadi di malam minggu]

***

22 September
(Bagian Pertama)

TERLAMPAUI hampir dua tahun aku menunggu saat-saat dimana bibir ini bersuara langsung untukmu, hanya agar bibirmu dapat tersenyum karena candaku. Terlampaui juga berpuluh ribu waktu untuk aku menunggu saat-saat dimana mata ini dapat menatap secara langsung sepasang gemerlap kilauan mutiara yang ada pada kelopak matamu, hanya agar kau dapat membalas tatapan itu dengan rasa yang kurang lebih sama dengan bahagiaku.
Beberapa sahabat seringkali mengatakan bila rindu, cepatlah bertemu jangan hanya mengadu. Tidak semudah itu sahabat! Kalian tidak mengerti bagaimana rasanya jantung ini beradu ketika hendak sekedar mendengar langsung hentakan langkah kakinya. Kalian tidak bisa merasakan bagaimana hati ini menanggung beban ketika telah kembali pulang selepas menemuinya.

Memang ada lega dan memang banyak bahagia, namun ada sedikit yang berbeda, karena sayang kita bukanlah dua orang yang sama seperti dua tahun yang lalu. Senyummu masih sama, namun seperti ada sesuatu yang tertahan dalam senyum itu. Perlahan aku memahami, semua ini karena kesalahan yang aku perbaut dalam dua tahun yang aku jalani.

Belum genap sepuluh menit bertemu, belum juga sempat menyatakan rindu itu secara langsung, kau sudah mempersilahkanku untuk kembali pulang. Memang benar aku meminta hanya sebentar, tapi… ah sudahlah kau takkan pernah benar-benar bisa memahami.

Entah seberat dan sebanyak apa kesalahan yang aku perbuat sehingga terkekanglah hatimu untuk memaafkan. Entah juga seluas apa kehinaanku di depanmu sehingga tak ada satu saat atau separuh kesempatan sekalipun bagiku untuk memperbaiki keadaan.

Tapi ingatlah kasih…
Meski percayamu kepadaku telah rapuh, namun akan tetap ada sebuah ketulusan yang kumiliki yang tak akan pernah runtuh.

Moch. Marsa, 2018.
Tribute to 4th of 22 September.
Part 1 of 2.

***

Si Batu


“Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit marah, kamu cowok atau cewek sih? Kek cowok banget”
“Lah, memang aku cowok, kamu baru tahu? Kan aku sudah pernah bilang”

HAI apa kabar sebongkah batu yang hidup? Sebenarnya tak pantas juga aku menanyakan kabar kepada sebuah batu. Benar-benar batu, bahkan ketika diceritakan tentang sesorang yang pernah mengalami sakit keras hingga hampir menemui ajal, bukan malah kasihan, kamu justru tertawa, terbahak-bahak pula. Sungguh batu!

Aku berbicara kamu tak ingin dengar, aku chat kamu blokir, aku diam kamu justru berteriak. Mungkin sifat ‘kebatuanmu’ sudah dipupuk sebelum kamu dilahirkan, sehingga begitu sempurna bentuk batumu. 

Jika saja Pramoedya Ananta Toer masih hidup dan bertemu kamu, mungkin beliau juga akan menyebut dirimu batu. Batu yang paling batu yang pernah ada di ‘Bumi Manusia’, yang paling batu dari ‘Anak Semua Bangsa’.

Sahabat sering menasehati, sekeras apapun batu jika dia ditetesi air terus menerus, sang batu akan melunak. Sayangnya aku bukanlah air, kadang aku juga seperti batu. Namun jelas tak sekeras ‘kebatuanmu’, karena sudah jelas sekali lagi kamulah yang paling batu dari yang paling batu, tak ada lagi yang dapat mengalahkan.

Tapi tidak, aku tidak marah dengan ‘kebatuanmu’, aku hanya gemas, iya gemas, sejujur hati benar-benar gemas Tak lebih seperti Minke yang selalu gemas kepada Annelies.

Moch. Marsa,
September, 2018.
Di Dalam Hitam, Biru, dan Abu-abu.

***

22 September


“MESKI percayamu kepadaku telah rapuh, namun akan tetap ada sebuah ketulusan yang kumiliki yang tak akan pernah runtuh”

Tak perlu aku sebut siapa nama bidadari incaran para dewa itu, hanya saja aku ingin sedikit mengenalkan tentang kisah diriku yang sedang mengenang bidadari itu. Setelah ini bidadari itu akan kuceritakan dengan panggilan “kamu”.

Ketemui kamu sebagai seseorang yang sempurna tanpa cela tepat pada 19 September 2014. Tajam matamu tak pernah diciptakan seindah itu oleh Tuhan kepada orang lain, bahkan ketika diperlihatkan manis gigimu, mutiara seluruh lautan seribu satu samudera sontak dibuat iri olehmu. 

Keramahanmu memesona, senyummu memberanikan hati untuk terpana, seluruh pujian kecantikan dan kesempurnaan yang dapat aku berikan seakan telah habis kuberikan untukmu. Seluruh dewa pun menjadi cemburu kepada diriku yang dapat duduk bersebelahan di sampingmu saat itu.

Bisikku dalam hati, “tenanglah dewa kau tak perlu cemburu, aku hanya duduk di sebelahnya, nyaliku pun tak berani untuk menyapanya, apalagi bertanya siapakah namanya”. 

Dua malam kemudian,  berkat bantuan seorang sahabat, tepat kepada enam ratus tujuh puluh lima malam yang lalu, adalah pertama kali jantung ini dibuat mendadak sunyi sepi dan berhenti mendayu karenamu. Malam itu kamu sebut namamu untukku, dan kuperkenalkan namaku untukmu. Maka sekaligus bintang, bulan, beserta embun malam menjadi saksi akan resminya kamu mengenal aku dan aku pun menjadi sah untuk mengetahui siapa namamu.

Namun lain hal yang disetujui oleh takdir, ternyata sepanjang kisah perkenalan itu tak kujumpai diriku tulus berbahagia kecuali hanyalah selama bilangan tujuh bulan saja. Setelah tujuh bulan berbahagia seperti memiliki dunia hanya kita berdua, hingga malam ini tepat empat tahun aku mengenalmu, tiada lagi kudapati dunia seperti yang sempat kita miliki berdua saat itu.

Aku percaya tiada dirimu salah, dan ini semua karena sebab diriku. Tepat pada detik aku menulis ini kalimat, tiba-tiba cukup gelap dan buntu pikiranku untuk meneruskan, air mata rindu ini telah cukup menenggelamkan jari jemariku ini melanjutkan tulisan. Menyedihkan, mengenaskan, dan seperti akan membinasakan, merasakan rindu yang tiada dapat meredakan.

Akhirnya cukup, aku tutup dengan sebuah pernyataan yang pernah aku baca pada sebuah cerita bahwa; 

“Sebenarnya aku tak tahu benar siapa yang ada di dalam hatiku, aku hanya bisa menerka-nerka dan membayangkan, sekarang ini aku sudah tak ingin terburu-buru. Biarlah Tuhan yang membimbing hamba sepertiku dalam menemukan sang bidadari sejati itu, namun andaikata boleh memilih, kamulah bidadari sejati itu. Tapi tetap aku benar-benar tak tahu, karena semuanya telah terlukis indah dalam suatu kanvas takdir, Lauhulmahfudz”

Moch. Marsa, 2018.
Tribute to 4th of 22 September.
Part 2/2.
Untuk kamu yang seminggu yang lalu .

***

SHE~ 

I know it’s crazy to believe in silly things, but it’s not easy. I remember now, it takes me back to when it all first started. But I’ve only got my self to blame for it.  But I’ve got high hopes, it takes me back to when we started, when you let it go, go out! And start again! When it all comes to an end, but the world keep spinning around.
- High Hopes from Kodaline

For a cute girl who only likes Black, Blue, and Grey…
Choosing the person that you want to share your life with, is one of the most important decision any of us makes ever. Because when it’s wrong turns your life to grey. 

And sometimes… 
Sometimes you don’t even notice until you wake up one morning and realize years have gone by both know about that one… 

Baby…
Our relationship has brought gloriuous technicolor to my life, it’s been there even in the darkest of times. And I the luckiest person alive that gift. I hope I didn’t take it for granted.
I think maybe I did, because sometimes you don’t see that the best thing that’s ever happened to me is sitting right on your side, by holding your hand tightly… I really, terribly miss that things. But that’s fine tho. 

For a beautiful girl who likes horses…
It really is because I’ve realized that…
No matter where you are, or what you’re doing, or who you with…
I will always… Honestly… Truly… Compeletely… 
Love you… :)

And someday, if I have a chance, I will approach you once more, just to get your heart to the utmost.
More than like a brother loves a brother, and friens love a friend…
I always stand guard over your dreams, girl.  No matter how weird or twisted I get, my prayer will always be there for you :)

The Second Part of “Si Batu”
Hitam, Biru, dan Abu-abu.
Tribute to you
Moch. Marsa,
September, 2018. 

No comments:

Post a Comment